Serial Fiqih Pendidikan Anak – No: 159
BUKAN ASAL NAMA
Ungkapan “Apalah arti sebuah nama” ternyata kurang pas. Sebab nama adalah identitas yang dimiliki oleh seseorang. Dengan adanya nama, maka akan lebih mudah untuk mengidentifikasi seseorang. Identitas ini akan melekat dalam dirinya, bukan hanya sampai tua, bahkan hingga setelah meninggal. Karena itulah memberi nama tidak boleh sembarangan, hanya dengan nama yang sekedar unik atau popular. Namun harus mengandung makna yang baik. Sebab itu akan memberikan pengaruh positif kepada si pemilik nama. Sebaliknya bila diberi nama buruk, maka akan berpengaruh negatif. Orang Arab berkata, “Setiap orang akan mendapatkan pengaruh dari nama yang diberikan padanya”.
Suatu hari ada seorang sahabat yang datang bertamu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bertanya, “Siapa namamu?”. Ia menjawab, “Hazn (susah/sedih)”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Mulai sekarang ubahlah namamu menjadi Sahl (mudah)”. Ia menimpali, “Aku tidak mau mengubah nama yang telah diberikan ayahku”. Sejak hari itu ia dan keluarganya selalu ditimpa kesusahan. (HR. Bukhari).
Nama juga bisa menjadi salah satu indikator baik-tidaknya orang tua. Jika nama anak itu baik, maka biasanya orang tuanya salih. Kebalikannya, bila nama anak itu buruk, itu pertanda orang tuanya bukan tipe ayah dan ibu yang baik.
Saking pentingnya nama, hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merasa perlu untuk mengubah nama-nama yang buruk. Berikut beberapa contohnya:
• Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Dahulu ia bernama Abdu Syams (hamba matahari). Setelah masuk Islam, nama beliau diganti oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi Abdurrahman. (HR. Al-Hakim).
• Ada seorang sahabat yang dahulunya bernama Abdul Jân (hamba para jin). Sesudah masuk Islam, namanya diganti oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Abdullah. (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad).
• Dahulu Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu bernama Abdul Ka’bah (hamba ka’bah). Setelah masuk Islam diganti oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi Abdurrahman. (Sebagaimana dikisahkan dalam Al-Istî’âb dan Al-Ishâbah).
Semua nama-nama lama di atas terlarang, sebab mengandung unsur penghambaan kepada selain Allah, dan ini merupakan kesyirikan. Selain kasus-kasus di atas, ada juga kejadian di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengganti suatu nama karena buruknya makna yang dikandung di dalamnya. Seperti kejadian yang dialami oleh salah satu putri Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu yang awalnya bernama عَاصِيَة ‘Âshiyah (pelaku maksiat), maka oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diganti dengan nama Jamîlah (baik/indah). (HR. Muslim).
Kapan Waktu Pemberian Nama?
Pemberian nama bisa dilakukan di hari kelahiran bayi, hari ketiga atau hari ketujuh. Semakin cepat, semakin baik. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“وُلِدَ لِىَ اللَّيْلَةَ غُلاَمٌ فَسَمَّيْتُهُ بِاسْمِ أَبِى إِبْرَاهِيمَ”
“Semalam telah lahir anakku dan kuberi nama seperti nama ayahku yaitu Ibrahim”. (HR. Muslim).
Dari Samurah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ يَوْمَ سَابِعِهِ، وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ، وَيُسَمَّى”
“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh. Di saat itu rambutnya dicukur dan dinamai”. (HR. Ahmad dan Tirmidziy menyatakan hadits ini hasan sahih).
Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 21 Jumada Tsaniyah 1443 / 24 Januari 2022
Disusun oleh Abdullah Zaen dari berbagai referensi.